A. Mulyana
![]() | |
| Sumber |
Pelayan itu datang membawa pesananku. Segelas frozzen cappucino
dan pisang cokelat. Dari gelas itu terlihat dinginnya es yang masih
baru diambil dari dalam kulkas dari uap-uapnya yang muncul ke
permukaan. Uap es itu muncul seperti sebuah kenangan yang tercampur
menjadi satu. Kemudian mengilang.
***
Seminggu lalu, tepat tengah malam. Dia mengirimiku pesan singkat
ketika aku sudah bersiap untuk tidur, isi pesan itu masih sama sejak
pertama kali dia mulai mengirim pesan dua tahun lalu. Berisi sebuah
ucapan selamat malam dengan emoticon senyum. Ya, hanya itu. Aku
membiarkannya, mungkin kamu bertanya kenapa aku hanya membiarkan
pesan itu begitu saja? Ya, memang seperti itu. Bukan tanpa alasan,
suatu waktu aku pernah untuk meneleponnya setelah pesannya kuterima
malam itu. Tapi apa kamu tahu apa yang terjadi? Tidak ada tanggapan.
Nomer ponselnya mendadak tidak aktif. Dan hal itu terjadi bukan satu
atau dua kali, tapi berkali-kali.
Setiap pagi aku selalu menghabiskan waktu di depan teras rumah.
Memerhatikan bunga-bunga yang sengaja ditanam oleh Andriana,
sepupuku. Dia sesekali dalam sebulan meluangkan waktu untuk
menyibukkan diri dengan bunga-bunga yang sekarang ada di depanku. Aku
tidak tahu jenis bunga yang dia tanam, walaupun setiap kali dia
membeli bibit bunga baru, seolah dia seperti memperkenalkan rekan
kerja yang lama tidak bertemu. Begitu antusias, namun aku tidak
mengacuhkannya. Andriana hanya tersenyum. “Sampai hari ini, berapa
lama lagi waktu yang akan terlewat percuma?” katanya dengan lembut.
Andriana kemudian pergi ke dapur untuk membuatkanku segelas teh
hangat. Sementara aku sampai saat ini masih memandangi bunga-bunga
itu. Cantik.
“Hari ini tepat dua bulan kamu hanya seperti itu, semestinya kamu
harus kembali seperti dulu,” ucap Andriana sembari menyodorkan
segelas teh padaku. Aku tahu bukan itu maksud Andriana, dia hanya
ingin aku bisa menata kembali kepingan-kepingan hidup yang telah lama
kusebar acak ke segala arah. Bukan tanpa maksud, aku hanya ingin
merasakan semua ini sendirian. Andriana yang menemaniku selama ini,
membiarkan diriku diselimuti kegelisahan setiap saat. Andriana duduk
di sampingku, menghirup aroma teh dengan campuran susu kental manis
hangat kesukaannya. Menghirup perlahan, dia berkata, “Kamu harusnya
seperti uap ini. Hangat. Seperti dulu.”
Aku mendesah. Dan kembali memerhatikan bunga-bunga di depanku bermain
dengan angin.
“Kemarin, saat kamu pergi, Pak Pos datang kemari, seperti biasanya
dia membawa paket untukmu,” kata Andriana yang begitu cepat
berhasil mengubah arah perhatianku. Ia tahu kiriman-kiriman itu akan
membuatku mengingat masa lalu kembali dan akan jatuh lalu tenggelam
di dalamnya lebih lama. Aku tahu Andriana mengkhawatirkanku untuk
hal-hal seperti ini. Tapi tetap saja kiriman itu berhasil mengubah
suasanaku pagi ini.
“Boleh kutahu di mana paketnya?”
“...,” ia mendengus panjang dan beranjak dari tempat duduknya.
Tak lama ia kembali dengan sebuah paket berbungkus merah dan tertulis
namaku. Sama seperti pertama kali, aku masih kenal dengan aroma ini.
Hatiku tak kuasa menahan gejolak saat memegang paket itu, Andriana
membantuku untuk membukanya.
Aku keliru dengan perasaanku. Sketsa ini bukan hanya sebuah gambar
biasa tapi juga berisi kumpulan-kumpulan puzzle ingatan.
Ingatan-ingatan ini membuatku merasa sesak. Sungguh. Tunggu, aku tak
kuasa menahan rintik air dari mataku.
***
Lebih kembali ke masa
lalu. Kami janjian di tempat ini, laki-laki itu terus saja
memandangiku. Namanya ..., aku tak perlu menyebutkannya, biar saja
hanya aku yang tahu. Dia memesan frozen cappucino. Aku memesan jus
coklat dengan potongan biskuit di atasnya. Dia meminum perlahan dan
kembali memandangiku. Aku terdiam. Malu.
“Sudah dua kali aku mengajakmu seperti ini. Apa kamu masih mau diam
saja?”
“Tidak,” kataku.
“Apa kau gugup?” dia tersenyum dan membenarkan kacamatanya.
Aku diam saja. Dia tersenyum lebih lebar sampai gigi putihnya
terlihat.
Aku menemukannya di jejaring sosial, twitter. Waktu itu tak sengaja
aku menemukan re-tweet dari twitternya di timelineku. Aku mengklik
akunnya. Mulai menelusuri timeline dan terakhir berkunjung ke blog
miliknya. Aku membaca setiap postingan yang ia buat satu per satu.
Dan tanpa seizinnya menyimpan setiap gambar yang ia buat. Dari
gambar-gambar itu, aku tergelitik untuk menghubunginya. “Hi?”
kutulis kata itu di email, dan kutekan tombol kirim. Terkirim.
Selepas dari tempat ini, setiap akhir pekan aku atau dia selalu
membuat janji di tempat yang sama. Kami berhubungan hanya melalui
email. Tidak yang lain. Dia pernah bilang, berkomunikasi melalui
email seperti ini ada perasaan yang berbeda dan aku menyukainya. Aku
tidak tahu maksudnya, tapi kapan waktunya aku juga menikmati
berkomunikasi seperti ini. Menikmati setiap penantian dari balasan
pesannya. Ya.
***
Andriana tidak salah. Aku tidak bisa menyalahkan sepupuku begitu saja
karena telah memberikan paket itu padaku. Aku yang meminta. Dia tahu
kalau setiap kali paket itu kuterima kejadian serupa akan terjadi
lagi. Sama seperti sekarang. Makanya ia secara sengaja untuk sedapat
mungkin tidak memberitahuku. Kenangan itu tiba-tiba saja muncul
seperti angin Desember yang membawa hujan di tempat ini.
***
Desember dua tahun lalu, kali pertama paket berbungkus merah itu
datang. Sebelum kubuka paket yang sedang kupegang, aku mengkonfirmasi
apa paket ini berasal darinya. Tidak butuh waktu lama dia membalas
pesanku.
“Oh, ya, ternyata sudah sampai. Semoga kamu suka,” begitu
tulisnya.
Paket itu berisi sebuah sketsa gambar dan sebuah surat. Ia membentuk
wajahku dalam bentuk sketsa. Aku memerhatikan sketsa itu lama sekali.
Di dalam sketsa ini mempunyai mata yang lucu. Aku tidak merasa kalau
mataku seperti itu. Aku membandingkan sketsa yang ia beri dengan
diriku di depan cermin. Ternyata memang benar-benar sama. Aku tidak
pernah tahu dia memerhatikanku sampai seperti itu. Lihat saja bentuk
bibirnya, hidung, tulang pipi dan poni ini, ya, semuanya mirip.
Kembali kukirim pesan padanya, “Bagaimana bisa kamu membuat sketsa
sebagus ini? Aku suka. Suka sekali malah.”
Lima belas menit aku terdiam di depan layar, dia belum juga membalas.
Mungkin saja dia sibuk atau sedang ada keperluan lain, begitu pikirku
sembari masih memerhatikan sketsa yang ia berikan.
***
Aku sudah menghabiskan frozen cappucino kesukaannya sedari tadi. Dan
sudah membaca surat yang ia beri berkali-kali. Apa kamu ingin tahu
isi surat itu? Baiklah.
Isinya seperti ini, “Bagaimana kabarmu? Ini kali pertama aku
mengirim surat di zaman digital seperti ini. Aku tidak tahu harus
menulis apa di sini, terlalu banyak yang ingin kukatakan
sampai-sampai aku bingung untuk memulainya darimana. Mungkin aku akan
mulai dengan menanyakan apa kamu suka sketsa yang kubuat? Sketsa itu
masih sederhana, bentuk aslinya lebih istimewa dan lebih indah dari
itu. Aku serius. Percayalah. Mulai surat ini kamu baca, aku sudah
tidak bisa lagi membalas setiap pesanmu di email seperti dulu. Aku
harus mengejar apa yang belum sempat kuraih saat ini. Termasuk kamu
di dalamya. Sampai waktunya nanti aku akan datang ke rumahmu. Dan
sampai nanti tolong tunggu aku. Aku janji akan datang.”
Dari situ, seminggu sekali ia mengirimiku sebuah paket berisi sketsa
buatannya. Namun lama kelamaan sketsa itu mulai jarang datang mungkin
dua minggu, sebulan, bahkan tiga bulan sekali. Dan bilangan detik
yang telah menjadi hari. Aku dan Andriana pergi dari kota ini.
Seluruh tempat di sini selalu saja menyesakkan perasaanku. Entah apa
jadinya kalau aku masih berada di sana. Di kota ini, Andriana
membantuku sekali lagi untuk mengenalkan dunianya. Aku mulai terbiasa
dengan apa yang ia jelaskan padaku. Ia pun semangat untuk mengajarkan
apa yang belum kuketahui.
Andriana kira aku telah melepaskan semua kepingan memoriku bersama
laki-laki itu. Tidak, Ia salah, aku masih menyimpan semuanya. Ya,
semua yang bisa kusimpan di dalam ingatan dan hatiku. Sampai saat ini
aku masih setia, masih setia menunggu hari itu. Walaupun hanya
seperti uap es, uap itu muncul seperti sebuah kenangan yang tercampur
menjadi satu. Kemudian mengilang.
Desember, 31 2013

nice story! :)
BalasHapusdiksi dan cara penulisannya bagus.
keep writing :)
Mungkin dari ceritaku, masih ada beberapa kesalahan gitu, Mba? hehe
Hapus