Diceritakan Oleh A. Mulyana
Dunia ini begitu diam.
Seperti halnya sebuah harmoni tanpa nada. Burung yang terbang tanpa
kepakan sayap. Dan bagaikan sebuah malam yang penuh dengan rintik
hujan-hujan ringan tak bersuara. Sama seperti hari ini, di
persimpangan jalan. Di halte persimpangan jalan aku duduk denagan
cemas. Berharap satu-satu harapan muncul perlahan dari atas atap
halte yang telah basah tersentuh hujan yang belum juga usai dan
enggan tuk pergi.
Aku duduk ditengah kerumunan orang-orang yang sama halnya dengan
yang kurasakan. Mungkin saat ini mereka tengah berpikir bagaimana
caranya bisa sampai di rumah dengan cepat. Bisakah anakku
mengantarkan payung untukku. Bisa juga satu dari mereka tengah
memikirkan barang yang harus mereka beli terlebih dulu, sebelum
akhirnya dia meminta maaf karena datang terlambat. Yang terakhir,
mungkin ada di antara mereka tengah berharap dengan sangat, supaya
hujan terus datang dan bertambah deras, hingga dia bisa menyatukan
kenangan yang mungkin saja masih tersisa di antara ribuan titik air
yang turun.
Selain yang telah kusebutkan di atas, arah jam sebelas dari tempatku
duduk ada sepasang remaja tanggung tengah duduk berdua. Saling
merapatkan dan menghangatkan. Yang laki-laki tengah bercerita entah
apa namun sangat antusias. Dan perempuan yang di samping laki-laki
itu hanya menanggapinya dengan senyuman tipis yang nyaris tak
terlihat serta sesekali ia menundukan wajahnya.
Aku kembali dengan hatiku sendiri. Memaksakan terus bermonolog serta
terus memerhatikan sekeliling. Jalan raya penuh dengan kebisingan
mesin-mesin beroda, terus berjalan dan menembus hujan dalam
kecepatan. Perasanku semakin tidak keruan, ada apa ini? Kenapa sampai
selama ini aku masih tetap menunggu di sini. Ada alasan yang
kulupakan sehingga aku bisa duduk di persimpangan ini. Aku duduk
dalam keadaan gelisah, sampai aku melihat seorang perempuan di
seberang jalan dekat jembatan penyebrangan tengah berdiri dengan
payung ungu. Saat itu aku kembali melupakan kegelisahan untuk
sejenak, karena yang terpikir dalam benakku saat ini adalah, Di
seberang sana ada perempuan yang menginginkan memiliki rumah
sederhana berdinding permen-permen dan berlantaikan cokelat.
Senin, 28 Desember
Sumber |
Hujan selalu saja datang sendiri, menyisihkan semua orang atas kesedihan yang ia miliki. Seperti sore ini, hujan masih satu-satu turun di persimpangan jalan dan aku berada di antara tetes-tetes hujan itu. Aku lupa kenapa bisa begitu ingin berada di tempat ini. Bermain dengan air hujan dan tanpa ditemani oleh siapapun. Aku menuju halte di depan sana, melipat payung dan duduk dengan tenang. Aku masih mengatur napas dan mengosok-gosokkan telapak tangan yang dingin karena terlalu sering bersentuhan dengan hujan.
Dunia ini gelap. Kata orang gelap
itu tidak pernah diciptakan Tuhan untuk dunia ini, gelap hanya sebuah
kata yang mengistilahkan kekurangan cahaya. Kalau memang gelap itu
tidak ada dan hanya ada kekurangan cahaya, maka cahaya adalah satu
dari banyak hal yang tidak ingin kusebut dalam doaku untuk Tuhan.
Agar gelapnya, maaf maksudku, kekurangan cahaya dalam duniaku bisa
terus kunikmati. Dan terus berjalan apa adanya.
Aku menengadahkan kepalaku. Dari mataku ini hanya tampak terlihat
berwarna hitam, tidak ada yang berbeda dengan sebelum-sebelumnya.
Sementara hujan masih begitu merasakan duka, tanganku meremas surat
yang kudapat seminggu lalu. Surat yang kudapat minggu lalu dari
adikku. Sebuah petunjuk untuk aku tetap berada di tempat ini.
Sekarang.
"Apa kabarmu? Bisakah kamu datang di tempat kali pertama kita bertemu? Kuharap kita bisa membicarakan banyak hal tentang permen dan kembang gula seperti waktu itu. Aku akan menunggu 3 hari dari sekarang."
Aku menghela napas, dan menghembuskannya perlahan. Entah kenapa, aku
memikirkan pria itu, pria yang kudapati tengah menggigiti kembang
gula berwarna merah muda di pasar malam, ia pria dengan senyum kecil
bermata bulat dengan kacamata minusnya. Aku bertemu dengannya secara
tak sengaja, saat aku melepaskan pegangan adikku dari keramaian pasar
malam waktu itu.
Aku tersenyum.
Katanya, ia ingin sekali menjadi kembang gula yang dimakan dengan
cara menyesapnya. Agar manis yang berasal dari gula warna-warni itu
bisa bertahan lama di dalam lidah sebelum menghilang bersamaan dengan
sisa-sisa liur.
Aku merasakan langit telah menjadi benar-benar gelap, langit seperti
ini benar-benar menggangguku, seperti, mengingatkan bahwa lebih lama
aku berada di sini, semakin lama aku terjebak dalam kepingan bahagia
yang telah kuciptakan sendiri. Tapi aku masih belum ingin beranjak
dari tempat ini, tempat dengan jalan yang kukenal di dalam kepala,
tempat yang benar-benar kutahu dengan hanya menyentuhnya. Terakhir,
tempat yang menjadikanku tempat kembali kedua setelah surat itu.
Entah
sampai kapan, aku juga tidak tahu, tapi, satu doaku untuk hari ini:
Ada seseorang yang membantuku berdiri, mencoba merasakan apa yang
kurasakan dan melihat apa yang kulihat. Seseorang yang memegang
tanganku dengan menceritakan banyak hal tentang permen-permen dan
kembang gula. Hingga itu terjadi, aku akan kembali besoknya …,
besoknya …, besoknya …, dan besoknya.
25 Januari 2014.
Aku suka cerpenmu! Karyanya aku kirim email aja ya hehe
BalasHapusTanganmu juga ajaib bisa ngambar sedetail itu. :)
HapusHaha bisa aja.
HapusJangan terus menunggu, mungkin dia tak akan kembali.
BalasHapusAku suka cerpennya :)
Btw, soal FlashFictionku yang judulnya "25 Januari" jadi kamu bikin versi cowoknya, kan?
Ditunggu ya :)
Menunggu buatku seperti kafein dalam kopi, Mbak, Biarpun berdampak buruk tapi selalu ingin untuk meminumnya lagi.
HapusJadi dong, Mba, nanti kuposting di sini. :)